Sabtu, 29 November 2008

Kanker

Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan (diperoleh) ataupun diwariskan (mutasi germline).Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan apakah ada metastasis. Sebuah diagnosis yang menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi. Setelah didiagnosis, kanker biasanya dirawat dengan operasi, kemoterapi dan/atau radiasi.
Bila tak terawat, kebanyakan kanker menyebabkan
kematian; kanker adalah salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang. Kebanyakan kanker dapat dirawat dan banyak disembuhkan, terutama bila perawatan dimulai sejak awal. Banyak bentuk kanker berhubungan dengan faktor lingkungan yang sebenarnya bisa dihindari. Merokok tembakau dapat menyebabkan banyak kanker dari faktor lingkungan lainnya.
Tumor (bahasa Latin; pembengkakan) menunjuk massa jaringan yang tidak normal, tetapi dapat berupa "ganas" (bersifat kanker) atau "jinak" (tidak bersifat kanker). Hanya tumor ganas yang mampu menyerang jaringan lainnya ataupun bermetastasis.

Jumat, 28 November 2008

Penyebab Pemanasan Global

Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.

Efek umpan balik
Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]

Krisis Sains

Perkembangan sains sampai ke abad 20 membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi pada kehidupannya. Level pemahaman terhadap alam mencapai tingkat level yang lebih tinggi. Pengamatan alam sudah sampai ke level mikroskopis, ternyata pengamatan pada level mikroskopis mementahkan hukum-hukum fisika yang pada saat itu menajdi pijakan ilmu fisika. Hukum-hukum fisika klasik seperti mekanika dan gravitasi dimentahkan oleh perilaku elektron dan proton yang acak tapi teratur. Penemuan-penemuan baru pada bidang fisika pada level mikroskopis merubah pandangan ilmuwan pada saat itu mengenai alam secara keseluruhan. Tenyata sains merupakan ilmu yang tidak pasti, ada ketidakpastian dalam kepastian terutama pada level mikroskopis dimana ketidakpastian itu semakin besar. Pada masa ini terjadi pergeseran paradigma dari paradigma Newtonian ke paradigm pos Newtonian. Perubahan paradigma ini merupakan revolusi pada bidang fisika, yang melahirkan tokoh-tokoh baru seperti Einstein dan Heisenberg

Objek:
Paradigma Pos Newtonian
Alam
Mesin
Sistem / jaringan
Fenomena objek
Interaksi benda
Transformasi objek
Ruang, waktu
Datar, tak berbatas
Melengkung, tak berbatas
Kekuatan alam
Determenistik, realistik
Indeterministik, anti-realistik
Werner Heisenberg mengajukan teori ketidakpastian yang menyatakan tidak mungkin mengukur secara teliti suatu partikel secara stimultan dalam ruang dan waktu. Teori ini bukan hanya menjungkirbalikan teori fisika klasik yang dikembangkan oleh Newton, namun juga mengubah cara pandang berbagai disiplin ilmu terhadap sifat alam yang tadinya dianggap determentstik (dapat ditentukan) menjadi indeterminsitik (tidak dapat ditentukan). Teori ini menjadi landasan fisika kuantum. Perubahan paradigma terhadap alam mengubah arah perkembangan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang revolusioner malah menjadi petaka bagi seluruh umat manusia, puncaknya ketika Albert Einstein menemukan bom atom dan digunakan oleh manusia untuk menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki. Dunia terkejut oleh kemampuan sains yang bukan hanya memudahkan manusia, namun juga menghancurkan. Pada tahap ini mulai dipertanyakan peranan sains dalam menuju kehidupan manusia yang lebih baik. Kritik mulai dilontarkan terhadap sains karena ternyata kemajuan sains belum tentu memajukan kemanusiaan di muka bumi.

Sains memiliki tiga sifat utama yaitu netral, humanistik dan universal. Namun pada perkembangannya ternyata sains tidak netral, humanistik dan universal. Sains sangat tergantung pada kondisi ekonomi, sehingga pemilik modal dapat mengarahkan perkembangan sains. Pada masa perang dunia II sains memberi kontribusi besar pada kematian umat manusia lewat penemuan senjata pemusnah masal. Sains juga kehilangan sifat netralnya karena pengembangan sains sangat tergantung dari pemilik modal. Sains berpihak kepada pemilik modal.
Sains bersifat humanistik yaitu manusia sebagai pusat dari segalanya. Ternyata pandangan ini malah menghancurkan manusia. Kemajuan sains seiring dengan kemajuan teknologi. Teknologi sangat menguntungkan manusia karena bersifat memudahkan. Teknologi membutuhkan sumber daya yang diambil dari alam dan teknologi juga menghasilkan limbah yang sulit diuraikan aoleh sistem alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebih mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu yang menjadikan Bumi rentan terhadap bencana. Limbah hasil industri diketahui berbahaya bagi manusia, sehingga menimbulkan kanker yang membunuh jutaan manusia tiap tahunnya.
Sains hanya alat untuki mencapai sesuatu, namun dasar motivasi untuk mencapai suatu hal adalah hal yang berbeda. Akal budi lebih berperan untuk menentukan arah tujuan sains tersebut. Perkembangan dari sains seharusnya diikuti dengan perkembangan akal budi agar tercipta kehidupan manusia yang lebih baik.

Perkembangan Filsafat Ilmu





Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial. Dimulai dengan aliran rasionalisme-emprisme , kemudian kritisisme dan positivisme.
Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza - biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).
Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.
Kedua aliran ini dibedakan lewat caranya untuk mencari kebenaran rasionalisme didominasi akal sementara empirisisme didominasi oleh pengalaman dalam pencarian kebenaran. Kedua aliran ini secara ekstrim bahkan tidak mengakui realitas di luar akal, pengalaman atau fakta. Superioritas akal menyebabkan agama dilempar dari posisi yang seharusnya. Agama didasarkan pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio sehingga tidak diterima oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Bukan berarti dogma yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi rasio manusia masih terbatas untuk menguji kebenaran dogma Tuhan. Munculah aliran kritisisme sebagai jawaban dari rasionalisme dan empirisisme untuk menyelamatkan agama.
Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori).
Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat di justifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal positif.
Positivisme digunakan untuk merumuskan pengertian mengenai relaita sosial dengan Penjelasan ilmiah, prediksi dan control seperti yang dipraktekan pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai dengan pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.

Sains dan Agama, Peranannya Dalam Kehidupan Manusia dan Dalam Hakekat “Kebenaran”

I. PENDAHULUAN
F. Budi Hardiman menyampaikan melalui tulisannya di harian Kompas, Jumat, 02 Februari 2007, dalam “Sains dan Pencarian Makna: Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama”, secara garis besar, ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam pencarian makna. Dengan makna di sini dimaksudkan terutama ’kebenaran’. Pertama, sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Kedua, agama dan sains dapat dibawa ke dalam arena yang sama dalam pencarian makna. Dan ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.
Diskusi mengenai keterkaitan antara sains dan agama memang sejak mula sangat menarik karena setiap pendapat akan ditanya mengenai hakekat keterkaitan tersebut. Apakah alam dan iman, iptek dan agama, harus menjadi tesis-antitesis? Masing-masing memiliki prinsip dan pembenaran sendiri. Yang pasti adalah, perbedaan pendapat, tesis-antitesis ini, menuntut penengahan debat. Diperlukan satu pemahaman untuk hakekat kemanusiaan yang lebih tinggai dalam kehidupan ini. Juga menyangkut harkat dan martabat dan integritas manusia sebagai khalifah di bumi ini.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesan-pesan moral. Tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Kaum agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Orang beragama diharapkan menggunakan anugerah Sang Pencipta, yaitu akal budi. Jangan sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang diharapkan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi.
Pada sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah dapat menjawab semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu. Hal yang membuat sains begitu berharga adalah karena sains membuat kita belajar tentang diri kita sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya diperlukan kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan manusia. Albert Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan. (Rakhmat. 2003).
Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap rasionalime. Dengan pandangan rasionalisme, semua tuntunan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif (Suseno. 1992).
Ciri paling utama dalam rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi manusia. Segala sesuatu harus dapat dimengerti secara rasional. Sebuah pernyataan hanya boleh diterima sebagai sebuah kebenaran apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam sisi lainnya, tradisi, berbagai bentuk wewenang tradisional, dan dogma, adalah sesuatu yang tidak rasional bagi masayarakat modern.
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra manusia.
Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain.
Sains dan agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma. Pengklasifikasian secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu tren tersendiri di masyarakat zaman renaisan dan tren ini menjadi dasar yang kuat hingga pada perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
Pembahasan mengenai ilmu pengetahuan dan agama tidak terlepas dari masalah dasar dari perdebatan, yaitu persoalan “kebenaran“ dan persoalan “etika“ dalam kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kearifan manusia untuk bersikap rendah hati dalam memahami esensi kebenaran dan etika dalam kehidupan ini.
Dapat dijelaskan bahwa dalam menelaah fakta dan kebenaran yang ada di kitab suci maupun yang nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan kearifan dan etika dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia yang mencoba menginterpretasi hukum Tuhan maupun hukum alam akan memberikan kesimpulan atas kebenaran yang ada dapat lebih dipertanggungjawabkan dalam konteks sains maupun dalam konteks religi.
Ketika pada abad ke 17 dan ke 18 muncul pemahaman “pencerahan” di Eropa sebagai sikap penentangan terhadap segala bentuk tradisi dan dogma, hal ini dianggap sebagai bentuk kesadaran akan hakekat manusai sebagai individu yang mempunai akal budi. Jaman pencerahan ini membawa manusia semakin maju ke arah rasionalitas dan kesempurnaan moral (Suseno. 1992).
Dengan pemahaman rasionalitas, ilmu penegtahuan telah tumbuh berkembang dan mendasarkan pada kegiatan pengamatan, eksperimen, dan deduksi menurut ilmu ukur. Dengan demikian manusia semakin bersikap rasional dalam memandang alam semesta. Gerakan-gerakan yang terjadi di alam, misalnya, tidak lagi diyakini sebagai disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakan dan berada di belakangnya. Pergerakan itu diyakini terjadi didasarkan kekuatan-kekuatan objektif alam itu senndiri yang dikenal sebagai hukum alam.
Etika dalam interpretasi dan implementasi hukum alam, dalam hal ini sains merupakan bahasan yang lebih rumit karena hal ini menyangkut hakekat penguasaan penentuan kehidupan maupun hal lain terkait dengan proses penciptaan. Diperlukan pembelajaran etika, terutama dari kalangan saintis untuk terus melakukan observasi dan eksplorasi alam semesta ini.
Dalam sudut pandang yang sama, pengkuatan eksistensi agama di dunia seharusnya juga dilakukan dengan lebih membuka diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah rahmat Tuhan sebagai hasil dari dibekalinya manusia dengan akal budi. Pemahaman yang lebih baik mengenai sains dan rasionalitas akan membuat para agamawan menjadi manusia yang juga akan sangat arif dalam menyikapi perintah Tuhan dalam menata kehidupan beragama manusia di dunia ini.
III. PEMBAHASAN
Dalam paparan berikut Penulis akan mencoba membahas diskusi pertentangan agama dan sains ini dalam sub bahasan sebagai berikut:1. Terdapat landasan bagi manusia untuk melakukan eksplorasi alam semesta.2. Etika sains harus dibahas dari segala segi, baik dari sudut pandang ilmu pengetahuan, agama, maupun untuk kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.3. Manusia diberi akal untuk dipergunakan melihat “kebenaran“ yang ada di alam semesta ini, oleh karena itu kalangan agamawan juga seharusnya memaksimalkan penggunaan akal budi untuk mempelajari sains.
Elaborasi dari topik bahasan tersebut adalah sebagaimana penulis paparkan dalam bagian berikut.
3.1 Hakekat Mempelajari Sains
Tuhan mempersilahkan manusia untuk memikirkan alam semesta berikut isinya dan segala konteksnya. Kecuali – jangan pernah memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran manusia tidak akan pernah mencapainya. Hal ini adalah sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits Nabi: “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya”.
Bahkan dalam QS Ar Rahmaan Ayat 33, Tuhan berfirman: “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan“.
Menurut hemat penulis, apa yang disabdakan Nabi dan yang difirmankan Tuhan ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia. Pencarian ilmu bagi manusia agamis adalah kewajiban sebagai bentuk eksistensi keberadaannya di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam segala sikap dan tindakan. Keluasan wawasan, pandangan serta kekayaan informasi akan membuat seseorang lebih cenderung kepada obyektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk.
Orang yang berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah. Ilmu manfaatnya tidak terbatas, bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi ia membias ke orang lain yang mendengarkannya atau yang membaca karya tulisnya. Sementara itu, ibadah manfaatnya terbatas hanya pada sipelakunya.
Ilmu dan pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang memanfaatkannya, meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi pahala yang diberikan pada peribadahan seseorang, akan segera berakhir dengan berakhirnya pelaksanaan dan kegiatan ibadah tersebut.
3.2 Kloning, Sebuah Pembelajaran tentang Perdebatan Etika Sains.
Contoh kasus yang selalu menjadi menarik karena melibatkan perdebatan kaum ilmuwan dan agamawan adalah masalah Kloning. Pada tahun 1997, keberhasilan proses kloning yang menghasilkan domba Dolly menjadi perhatian utama dunia ilmu pengetahuan. Keberhasilan ini memicu diskusi yang tidak pernah selesai mengenai eksistensi keilmuan di satu sisi dengan etika keagamaan di sisi lainnya. Teknik kloning ini terus berkembang secara cepat, dan dapat diterapkan tidak saja pada sel embrio, tetapi juga dapat diterapkan pada sel dewasa.
Dengan kata lain, manusia telah mampu menciptakan suatu sel hidup sama seperti kita membuat foto copy dokumen dengan mesin foto copy. Persoalannya adalah, debat dan diskusi yang muncul harus menjawab sebuah pertanyaan mendasar: “Apakah semua hal yang bisa dilakukan memang patut dilakukan?”. Dari sisi kemanusiaan misalnya, kloning manusia boleh jadi akan menjadi penyelamat bagi pasangan-pasangan tidak subur untuk memperoleh keturunan langsung. Sebaliknya bagi para etikawan dan agamawan, memegang teguh sebuah prinsip bahwa dalam ilmu pengetahuan, tidak semua yang bisa dilakukan patut dilakukan.
Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus, sekalipun di tengah derasnya kritik dan kecaman atas dasar-dasar prinsip etika. Etika agama “yang bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan dengan semangat teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning memang akhirnya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak untuk meresponnya.
Ketika masalah kloning dibahas di PBB, Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara yang abstain dalam pemungutan suara atas draf deklarasi Majelis Umum PBB pada 8 Maret 2005, yang berisi seruan larangan bagi semua bentuk kloning manusia, termasuk kloning untuk keperluan medis. Sebanyak 84 negara mendukung deklarasi tersebut, sedangkan 34 negara menentang. Alasan Indonesia untuk bersikap abstain adalah karena masalah kloning tidak dapat diputuskan dengan cara pemungutan suara. Harus dilakukan musyawarah dengan memandang berbagai latar belakang dan sudut pandang, termasuk agama.
Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan dengan kalangan agamawan dan etikawan. Dan masing-masing akan tetap berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat adalah kesepakatan logis bahwa seyogyanya agamawan tidak mengesampingkan akal budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan etika. Diperlukan kearifan dan etika untuk memahami dan menginterpretasikan “ijin Tuhan” untuk melakukan eksplorasi alam semesta ini. Kasus kloning merupakan ujian atas bagaimana kalangan agamawan dan ilmuwan harus bersikap satu sama lain. Kasus kloning adalah kasus yang ada di permukaan bumi, sehingga akan lebih mudah diinterpretasi dan dicerna untuk disikapi. Bagaimana dengan kasus yang “tidak kasat mata”? Kasus perbedaan interpretasi antara kalangan agamis dan saintis di bawah ini mencoba mendeskripsikan perbedaan pandangan tersebut.
3.3 Kasus Pertentangan Saintis dan Agamawan
Kasus pengucilan Galileo oleh Gereja Katolik merupakan contoh nyata betapa agama diinterpretasikan tidak dengan tepat dalam hal pencarian kebenaran. Sekalipun Gereja Katolik merehabilitasi kesalahan tersebut 500 tahun kemudian, peristiwa tersebut tetap saja menjadi acuan betapa agama selalu ketinggalan dibandingkan dengan sains.
Galileo Galilei (15 Februari 1564 - 8 Januari 1642) adalah seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah. Ia diajukan ke pengadilan gereja Italia pada 22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan keyakinan gereja bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Pemikirannya ini menyebabkan Dinas Suci Inkuisisi Gereja Katolik mengucilannya. Otoritas tertinggi Gereja Katolik bahkan ingin menghapuskannya dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua ini terjadi karena ilmuwan yang juga menulis puisi dan kritik sastra ini menyuarakan sebuah pandangan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah kekafiran besar yang akan merusak akidah umat.
Pandangan kosmologis yang dianggap “kafir” ini, yang juga dikenal sebagai sistem Heliosentris sebenarnya sudah dipikirkan oleh manusia sejak lebih dari 2.000 tahun yang silam. Karena ajaran Aristoteles dan Kitab Suci Injil yang mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan Ptolomeus, sistem heliosentris ini hilang dari dunia pengetahuan manusia. Sistem kosmos ini kemudian muncul kembali di Eropa Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Pandangan ini kemudian dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) yang mengajukan sejumlah Hukum Gerak dan Orbit benda-benda langit. (Arsuka. 2004.)
Galileo mencoba menandaskan kebenaran sistem Heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kuat. Galileo berpendapat bahwa Bumi bergerak mengitari Matahari dan bahwa sistem Kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori Heliosentris Kopernikus memberi penjelasan sederhana atas gerak-gerak planet yang telah membingungkan kaum cerdik cendekia. Sambil menata ulang susunan planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem heliosentris menawarkan diri sebagai sistem yang lebih masuk akal dibandingkan dengan sistem tradisional Geosentris.
Selain menggugat pandangan religius klasik atas posisi manusia di alam semesta yang menganggap bahwa Bumi adalah pusat jagat raya, dan Vatikan adalah pusat dunia, sistem Heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut pandang pengetahuan fisika yang dipahami pada waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman indrawi manusia yang dengan mata telanjang melihat Matahari mengedari Bumi dengan terbit di timur dan surut di barat.
Sampai pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17, para pemikir tumbuh dan terdidik dalam pemikiran Aristotelian. Dalam faham fisika Aristoteles, benda-benda selalu bergerak menuju tempat mereka yang alami. Batu jatuh karena tempat alami benda-benda yang berbobot adalah pada pusat alam semesta, dan itu pula sebabnya maka Bumi yang berat ini ada di tempatnya, yakni di pusat alam semesta itu. Menerima sistem Kopernikan bukan saja berarti menampik fisika Aristoteles dan membuang sistem geosentris Ptolomeus. Itu juga berarti membantah kitab suci Injil yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak di tempatnya. “Oh, Tuhanku, Kau-lah yang Maha Besar… Kau pancangkan bumi pada fondasinya, tiada bergerak untuk selamanya.” (Mazmur 103:1,5).
Konflik Galileo Galilei dengan Gereja Katolik Roma adalah sebuah contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan berfikir pada masyarakat Barat. Sejarah pertentangan Galileo dengan Gereja seringkali hanya ditafsirkan sebatas ketertutupan agama terhadap sains. Padahal inti persoalannya adalah pertanyaan tentang kebenaran. Apakah sains memberi landasan bagi kita memperoleh kepastian mengenal dunia? Apakah sains bisa membawa kita untuk sampai pada kebenaran? Hukum agama kerapkali diterapkan dalam kehidupan manusia secara harafiah, sehingga penerapan tulisan dalam Kitab Suci mampu mengesampingkan argumen ilmu pengetahuan sebagaimana terjadi dengan Galileo Galilei.
Sebuah kasus merarik lainnya adalah menyangkut bagaimana sebuah ayat di Al Quran diinterpretasi secara sangat berbeda oleh kalangan agama (dalam hal ini Departemen Agama RI), dan oleh seorang ahli matematika dan fisika dari Mesir.
Ayat tersebut adalah QS As Sajdah Ayat 5: “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Catatan kaki pada terjemahan versi Departemen Agama RI:“Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya.”
Pandangan agamawan dalam menafsirkan ayat di atas tergambar dari penafsiran yang dilakukan oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam catatan kaki pada terjemahan Al Quran versi Departemen Agama RI, bahwa ayat tersebut hanyalah merupakan tamsil atau perumpamaan semata atas keagungan dan kebesaran Tuhan.
Contoh penafsiran yang dilakukan oleh Departemen Agama RI ini adalah contoh nyata betapa penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci belum dilakukan dengan pendekatan rasionalitas ilmu pengetahuan modern. Penafsiran seperti itu bisa dimafhumi karena tentu dilakukan dengan dasar pandangan dogmastis yang lebih sempit dari suatu otoritas tradisional yang mempunyai keterbatasan pemahaman sains dan ilmu pengetahuan alam modern seprti matematika, fisika maupun astronomi.
Sementara itu, Dr. Mansour Hassab Elnaby, seorang ahli matematika dan fisika dari Mesir, dengan pemahaman fisika dan matematikanya mencoba menginterpretasikan ayat di atas dari sudut pandang teori fisika, matematika dan astronomi. Mengacu pada QS As Sajdah Ayat 5, Dr. Mansoer menyampaikan bahwa jarak yang dicapai “sang urusan” selama satu hari adalah sama dengan jarak yang ditempuh Bulan selama 1.000 tahun atau 12.000 bulan. Dr. Mansour menyatakan bahwa “sang urusan” inilah yang diduga sebagai sesuatu “yang berkecepatan cahaya “.
Dr. Mansour Hassab Elnaby menguraikan secara jelas dan sistematis tentang cara menghitung kecepatan cahaya berdasarkan ayat Al Quran di atas. Dalam menghitung kecepatan cahaya ini, Dr. Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh ahli astronomi yaitu sistem Siderial. Dengan pendekatan ini Dr. Mansoer membuktikan secara matematis bahwa hubungan “sehari = seribu tahun” membawa pada hubungan matematika fisika yang menghasilkan angka kecepatan cahaya. Deskripsi detil mengenai pembuktian dan perhitungan yang dilakukan oleh Dr. Mansoer dapat dilihat dalam Lampiran.
Dalam dua kasus yang penulis paparkan di atas, nampak sangat jelas bahwa perbedaan pandangan antara kalangan agama dan sains disebabkan oleh ketidakpahaman kalangan agama mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat penting bagi para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan melakukan pembelajaran, tidak hanya pada apa yang tersurat dalam kitab suci, tetapi juga menyangkut segala hal yang dapat diobservasi secara fisik di alam semesta ini.
Apa yang terjadi pada kasus Galileo maupun kasus rasionalisasi “Satu hari = seribu tahun” tidak terlepas dari faham pendekatan rasionalisme yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu modern telah berkembang berdasarkan prisip rasionalitas ini. Sebelumnya, pemahaman ilmu pengetahuan seperti mandul ketika semua pengetahuan manusia dijalankan secara dogmatis berdasarkan dalil-dalil dari ahli-ahli Yunani kuno yang disampaikan oleh Aristoteles, Ptolemaeus, dan lain-lain, maupun sebagaimana tersurat dalam kitab suci (yang juga diinterpretasikan secara dogmatis).
IV. KESIMPULAN
Pada kenyataannya kita memang tidak bisa mencampuradukkan pola pikir sains dengan agama. Terdapat perbedaan cara pikir agama dengan sains. Agama memang mengajarkan untuk menjalani agama dengan penuh keyakinan. Sedangkan sebaliknya dalam sains, skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi acuan untuk terus maju, mencari dan memecahkan rahasia alam.
Sains seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi oleh semua orang tanpa memandang apapun keyakinannya. Semua penganut agama harus memahami bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya. Semua penganut agama harus paham bahwa sinar matahari dapat dikonversi menjadi energi. Karena hal ini memang terbukti melalui pendekatan sains.
Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains, kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu, pembelajaran sains seyogyanya ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam semesta ini. Dan hal ini telah secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab suci agama, tanpa perlu diperdebatkan atau dikait-kaitkan dengan kaedah sains.
Sains sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan. Namun demikian iman juga dapat digoyahkan oleh sains seaindainya dicampuradukkan dengan pemahaman agama. Pengkaitan fenomena alam dengan ayat-ayat suci secara serampangan bisa jadi malah akan memberikan pemahaman yang salah. Bagi para agamawan yang kurang memahami sains, tindakan ini akan menyesatkan. Sebaliknya, mengkaitkan sains dengan agama oleh mereka yang tidak atau kurang dibekali agama, bisa membuat kesimpulan yang diambil menjadi konyol dan menggelikan.
Selain para ilmuwan perlu mempelajari dan mendalami agama, para agamawan seharusnya juga mempelajari ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian tidak terjadi benturan yang terlalu besar, atau jarak yang terlalu lebar, yang memisahkan kedua prinsip dan sudut pandang antara sains dan agama.
Penulis setuju dengan paparan dan bahasan F. Budi Hardiman dalam “Sains dan Pencarian Makna: Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama” bahwa, agama dan sains memang menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.N

KIAT MENGHALAU VIRUS DAN HACKER

Para peneliti diberbagai lembaga penelitian sering mengeluh akibat banyaknya gangguan jaringan komputer yang terkoneksi ke Internet. Padahal jaringan tersebut merupakan kebutuhan untuk mencari informasi, bahan perbandingan, maupun literatur dari suatu penelitian yang sedang ditangani.
Berbagai contoh beberapa waktu lalu jaringan komputer sempat dihebohkan dengan menyebarnya virus Worm sasser yang menyerang beberapa server di dunia termasuk di Indonesia. Dengan menyebarnya virus tersebut jaringan komputer banyak mengalami gangguan yang mengakibatkan rusaknya system dalam jaringan tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa antivirus selalu ketinggalan satu langkah dari virusnya, biasanya antivirus diciptakan setelah virusnya menyebar dan merusak system komputer yang ada. Umumnya antivirus yang dikembangkan saat ini bisa dikatakan hampir tidak efektif dalam membasmi virus. Berbagai antivirus terus dikembangkan untuk mengatasinya, namun pada saat yang sama virus-virus baru pun muncul kembali dan tidak bisa dibasmi oleh antivirus yang sudah ada. Sebagai contoh beberapa waktu lalu sempat gentayangan virus Nimbda, CodeRed, Slammer , blasster worms , Sessar, dan sebagainya yang tergolong virus komputer generasi baru yang masih sulit dilumpuhkan.
Memang jika komputer yang kita gunakan hanya dipakai dirumah atau dikantor tanpa dilengkapi dengan disket dan tidak terhubung ke jaringan global virus-vurus baru tidak akan masuk ke komputer tersebut, tetapi jika komputer yang digunakan terhubung dalam jaringan LAN, WAN dan Internet, sangat sulit untuk menghindari datangnya virus tersebut, pasalnya virus-virus generasi baru umumnya masuk melalui e-mail, download file, membrowse dokumen yang ada di Internet dan sebagainya.
Sejalan dengan menjamurnya virus tersebut Cisco Systems telah mengembangkan suatu sistem pengamanan data dari serangan virus. Dalam hal ini, perlindungan terhadap ancaman yang akan menyerang server dan sistem jaringan komputer yang dikenal dengan endpoint.
Berbeda dengan cara yang diterapkan selama ini, sistem yang diterapkan Cisco Security Agent (CSA) adalah tidak membunuh virus sejak awal ketika ia mulai masuk ke data atau program. Karenanya, CSA tidak masuk kategori antivirus, sekalipun secara operasional memiliki fungsi atau peran menangkal dan melumpuhkan virus dan dampak worm.
Dalam hal ini, CSA akan melakukan 'penghadangan' terhadap virus ketika ia mulai merusak sistim dan jaringan komputer atau file. Jadi utamanya adalah bukan program anti virus, karena sia-sia kalau virus diperangi, tapi bagaimana melakukan penjinakan terhadap virus yang masuk.
Dalam bahasa yang sederhana, CSA memiliki peran sebagai penjaga gerbang terdepan dari suatu jaringan. CSA akan melakukan indentifikasi serta melakukan penghadangan terhadap perilaku-perilaku yang bernada merusak--tentu saja terhadap file atau jaringan--, sekaligus menghilangkan ancaman yang teridentifikasi tadi, baik yang telah diketahui jenisnya maupun yang belum. CSA akan dipasang di destop atau server.
Tak hanya memberikan perlindungan, CSA juga mampu mengkombinasikan dan mengembangkan fungsi-fungsi keamanan endpoint melalui penghadangan berbagai macam ancaman, mendistribsukan kemampuan firewall, proteksi terhadap kode-kode yang dapat merusak sistem, menghadirkan realiabilitas operating system dan konsolidasi log audit.
Berdasar studi yang dilakukan Cisco Systems, ada lima tahap serangkan virus ke komputer. Tahap pertama disebut probe. Pada tahapan ini, virus seakan-akan melakukan indentifikasi kelemahan-kelemahan program atau data. Virus hanya berkeliling ke masing-maing jaringan Tahap kedua adalah penetrate. Virus setelah mengetahui kelemahan langsung masuk dalam jaringan dan disitu mereka hanya berputar-putar saja. Pada tahap ini virus juga tidak akan mengganggu jalannya jaringan karena selalu berkeliling.
Tahap ketiga, disebut dengan persist. Virus setelah berkeling dan mungkin merasa lelah atau sudah mengetahui kelemahan file, ia akan berada di file tersebut. Di sini virus sudah dianggap berbahaya sebab sebagian sudah ada data-data yang ditempati.
Tahap selanjutnya disebut propagade. Setelah mengetahui kelemahan baru menjalar ke file atau program lain. Terakhir disebut paralyze dimana virus itu sudah mencari teman dan merusak sistem.
Walaupun CSA (Cisco Security Agent) bisa dikatakan sukses, tetapi memang teknologi virus jauh lebih maju dari antivirusnya. Dengan demikian jangan heran jika banyak server dan komputer yang diganggu oerang virus, bahkan tidak hanya virus serangan juga dateng dari para hacker, yang berakibat jauh lebih fatal dibandingkan dengan gangguan virus.
Akhirnya karena seringnya serangan virus, worm dan gangguan hacker melanda dunia perkomputeran dan jaringan di dunia ini, maka dua raksasa teknologi informasi terkemuka dunia, yaitu IBM dan Cisco. Kolaborasi dua raksasa ini, dimaksudkan untuk mengamankan pemakai network dari berbagai ancaman seperti hacker, gangguan virus dan worms.
Kalangan bisnis memang mengeluhkan sistem security yang tidak efektif dan efisien sebagai akibat dari penggunaan produk dan layanan yang beraneka ragam. Dunia bisnis dan pemerintah menyadari bahwa mereka membutuhkan cara yang lebih efektif untuk melindungi bisnis mereka dari ancaman hacker, memerangi virus dan worms, sekaligus mengendalikan akses karyawan, pelanggan dan mitra bisnis ke data dan aplikasi internal.
Pendekatan otomatis terhadap sistem informasi kemanan ini akan menyederhanakan sistem keamanan, mengurangi pengimplementasian dan biaya administrasi, serta meningkatkan produktifitas bisnis. Sehingga, sistem-sistem, aplikasi-aplikasi dan jaringan-jaringan dapat dilindungi dengan mengintegrasikan teknologi sekuriti. Titik-titik keamanan utama yang telah diperkokoh ini akan membantu mendeteksi setiap ancaman yang muncul. Ketika terjadi ancaman, atau ketidak cocokan pada suatu sistem, teknologi sekuriti ini dapat secara otomatis beradaptasi dengan kebocoran security dan membantu mengurangi biaya perbaikan yang terkait.
Sebagai pemanufaktur berbagai komponen semikonduktor dan integrated circuit yang terkemuka, National Semiconductor memahami tantangan yang berkaitan dengan penerapan sistem security ujung-ke-ujung yang efektif ketika memilih produk-produk dari berbagai vendor,'' tutur Ulrich Seif, senior vice president dan chief information officer, National Semiconductor. Ia menilai, aliansi dua perusahaan sekuriti yang terkemuka di industri ini dapat membantu mengatasi tantangan sekuriti tersebut. Selain berpotensi untuk secara dramatis meningkatkan sekuriti, aliansi tersebut juga dapat mengurangi resiko dan biaya.
Integrasi baru antara piranti lunak IBM Tivoli Identity Manager dan Cisco Secure Access Control Server (ACS), misalnya, dapat membantu pelanggan mengurangi biaya dengan mengelola sejumlah besar karyawan, mitra bisnis dan identitas pelanggan pada aplikasi bisnis yang terhubung dengan jaringan. Hal ini dapat mengurangi resiko sekuriti yang umum, seperti rekening pengguna yang sudah tidak berlaku lagi, yang mengganggu 60 persen perusahaan-perusahaan besar dan dapat menjurus ke pencurian identitas atau pencurian hak intelektual. Integrasi baru ini juga dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan karyawan baru agar menjadi produktif dengan akses penuh ke semua aplikasi dan infrastruktur jaringan yang dibutuhkan.
Perusahaan-perusahaan kini dapat menggunakan chip sekuriti yang tertanam. Dengan menggunakan informasi otentifikasi terenkripsi yang disimpan di dalam perangkat keras komputer, ditambah dengan konektifitas aman, perusahaan-perusahaan dapat mencegah akses jaringan jarak jauh yang tidak berwenang. Cisco Security Agent juga akan diintegrasikan dengan klien-klien dan server-server IBM. Integrasi ini akan membantu menyediakan proteksi jaringan day zero yang dinamis terhadap virus dan worms yang belum dapat ditemukan atau pertahanan yang dibutuhkan karena perlunya untuk secara kontinu meng-update piranti lunak sekuriti titik akhir.
IBM juga akan bergabung dalam program Cisco Network Admission Control (NAC) dan berencana untuk mengintegrasikan piranti lunak dengan produk-produk infrastruktur Cisco. Program Cisco NAC tersebut menawarkan sekuriti canggih dalam jaringan yang memungkinkan pelanggan untuk menguji status sekuriti di titik-titik akhir, seperti pada PC dan server, serta secara otomatis menerima atau menolak permohonan akses titik akhir ke jaringan dan sumber daya sistem yang penting, berdasarkan kebijakan sekuriti TI korporat pelanggan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Partisipasi IBM dalam program Cisco NAC akan memperluas kemampuannya untuk secara otomatis menguji credential sistem dan aplikasi, serta menyediakan strategi perbaikan yang lebih efektif untuk titik-titik akhir yang tidak sesuai dan menjadi ancaman sekuriti bagi perusahaan. Aliansi strategis global antara IBM dan Cisco menawarkan solusi-solusi e-business yang terintegrasi dan unggul di industri. Kedua perusahaan ini memanfaatkan kekuatan mereka di bidang infrastruktur Internet, sistem-sistem e-business, jaringan, kemanan dan layanan untuk menghantarkan solusi bisnis Intenet ujung-ke-ujung kepada perusahaan-perusahaan dan penyedia layanan